Senin, 29 Oktober 2012

INFO UTAMA


(Siapa) MenaburGrasi (Dia) MenuaiKecaman “Banyakpermohonangrasidaripelakukejahatannarkoba yang dilayangkankepadasaya. Tapi, KetuaMahkamahAgungdansayasendiritentumemilihuntukkeselamatangenerasimudanegarakitadibandingkanmemberikangrasikepadamereka yang menghancurkankehidupanitu” (PidatoPresidenSusiloBambangYudhoyonopadaperingatanHariAntimadatSedunia di Istana Negara, 30 Juni 2006)


Pesan pidato tersebut kini terus menuai kecaman, lantaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  memberi kangrasi kepada terpidana narkoba. Dan keputusan itu dianggap sebagai langkah mundur dalam perang melawan narkoba.
Pemberian grasi untuk terpidana narkoba terungkap lewat keterangan juru bicara Mahkamah Agung DjokoSarwoko, Jumat (12/10). Menurutnya, Presiden telah mengurangi hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup atas gembong narkotika internasional, yakni Deni Satia Maharwan alias Rapi Muhammad Majiddan Meirika Franola alias Ola alias Tania.
Grasi untuk Deni ditetapkan lewat Keppres Nomor 07/G/2012 tertanggal 25 Januari 2012. Adapun untuk Ola melalui Keppres No.35/G/2011 yang ditandatangani Presiden pada 26 September 2011. Pada Mei 2012, Presiden juga memberikan grasi kepada terpidana narkotika asal Australia, Schapelle Leigh Corby, dari 20  tahun menjadi 15 tahun penjara.
Djoko Sarwoko menambahkan, MA telah memberikan pertimbangan untuk menolak grasi yang diajukan Deni dan Meirika, tetapi grasi tetap diberikan.
Sementara Juru Bicara Kepresidenan Julian AldrinPasha  beralasan pemberian grasi itu didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan.
Indonesia kian hari kian nyaman bagi pebisnis narkoba. Mereka tak pernah jera karena para pengelola negeri ini masih saja gemar bermain- main  dengan hukum.  Beberapa tahun lalu, Indonesia cuma menjadi negara transit  oleh sindikat internasional.
Namun, label itu telah lama luntur dan Indonesia  berubah wajah menjadi destinasi penjualan. Indonesia  bahkan mulai dikenal sebagai sentra produksi barang laknat itu.
Narkoba dari mancanegara tiada henti membanjiri negeri ini. Belum lepas dari ingatan kita, Polda Metro Jaya menyita 351 kg sabu asal China, Mei silam. Dua pekan berikutnya, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) mengamankan 1,5 juta pil ekstasi juga asal China.
Setelah tiarap beberapa saat, gembong narkoba kembali menggila akhir-akhir ini. Pada Kamis (11/10), sebanyak 2,6 kg sabu coba diselundupkan di Bandara Internasional Lombok, tapi digagalkan aparat. 
Dua hari berselang, di tempat yang sama, giliran 3,7  kg hasyis atau olahan  ganja  dapat disita.  Begitu juga 5 kg sabu yang hendak diselundupkan lewat Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah. Kita bersyukur, barang haram itu tak sempat meracuni anak bangsa.
Namun, bukan berarti kita benar-benar lega. Memang banyak narkotika yang dapat dicegah masuk, tetapi lebih banyak lagi yang lolos. Data BNN menunjukkan 49,5 ton  sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton  heroin lepas dari jerat petugas sepanjang  2011.
Darurat Narkoba Indonesia sudah pada taraf darurat narkoba. Sekitar 15  ribu warga setiap tahun mati percuma.  Kita miris, tetapi lebih miris lagi lantaran pengelola negara ini justru terus larut dalam ketidak-berdayaan.
Penegakan hukum untuk kasus narkoba masih saja dipermainkan. Di tingkat penyidikan, jenis sangkaan bisa diatur asal ada uang.
Status bandar bisa disulap menjadi pengedar dan pengedar bisa diubah menjadi pemakai. Di pengadilan setali tiga uang, di balik jeruji besi pun pesakitan narkoba leluasa mengatur bisnisnya.
Di tingkat peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung,  penegakan hukum tak lebih baik. Contohnya, hakim agung Imron Anwari menganulir vonis mati gembong narkotika  HankyGunawan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan ikut-ikutan tak berdaya. Ia sendiri mengingkari janji yang dilontarkan pada 2006 untuk tidak memberikan grasi kepada terpidana narkoba tanpa terkecuali.  Faktanya pengurangan hukuman mati menjadi seumur hidup ia hadiahkan kepada Meirika Franola pada  2011 dan Deni Satia Maharwan pada 2012.
Bahkan Menkum dan HAM  Amir Syamsuddin berkilah,  bahwa grasi yang dikabulkan dalam kasus narkotika amat sedikit ketimbang jumlah permohonan, yakni 19 dari 128 pemohon grasi sepanjang  2004-2012.
Namun, berapa pun jumlahnya dan apa pun alasannya,  hadiah grasi itu tetap merupakan langkah mundur dalam perang melawan narkoba. Bagi Yusril, pemberian grasi tersebut juga merupakan bentuk inkonsistensi Presiden karena pernah menegaskan tidak akan memberikan grasi kepada terpida nanarkotika.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemberian grasi untuk narapidana kasus narkotika menunjukkan Presiden Yudhoyono lemah menghadapi kejahatan luar biasa itu.
Menurutnya, selama ini pemerintah lebih terlihat gencar memerangi korupsi ketimbang memberantas narkoba.
“Padahal, narkoba juga merupakan kejahatan luar biasa atau extra-ordinary crime yang sama dengan kejahatan terorisme dan korupsi,” ujarYusril.
Selama pengelola negara bermain-main dengan hukum, selama itu pula mafia narkoba menjadikan  Indonesia sebagai barang mainan.
Hanky Gunawan adalah contoh terdakwa yang mendapatkan putusan sangat meringankan itu. Hanky, pemilik pabrik ekstasi, ditangkap pada 23 Mei 2006 dengan dakwaan memproduksi dan mengedarkan ekstasi dalam jumlah besar.
Akibat perbuatannya itu, Hanky divonis hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Surabaya memperberat hukuman Hanky menjadi 18 tahun penjara dan bahkan dimaksimalkan menjadi hukuman mati di tingkat kasasi.
Dan yang mengejutkan, dalam sidang peninjauan kembali (PK) kasus itu, majelis hakim yang diketuai Imron Anwari dan beranggotakan Achmad Yamanie dan Nyak Pha itu, justru menganulir dan mengubah hukuman mati Hanky menjadi hanya 15 tahun penjara.
Putusan PK atas kasus Hanky diambil majelis hakim  berbasiskan dalil bahwa hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 tentang Hak Hidup dan melanggar Pasal 4 UU No. 39/1999 tentang HAM.
Setiap orang memang berhak hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya seperti yang  dijamin Pasal 28 ayat 1 UUD 1945. Namun untuk perkara ini fakta mengatakan justru sebaliknya bahwa ada seseorang yang diperkenankan menghilangkan hidup dan kehidupan orang lain melalui pabrik ekstasinya.
Oleh karenanya memberikan keleluasaan dan keringanan kepada seseorang yang telah terbukti menghilangkan kehidupan orang secara massal, seperti penjahat narkoba, bukan saja tidak adil, tetapi juga jahat. Dan itu tidak berarti menjatuhkan hukuman mati bertentangan dengan hukum.
Sebab, kenyataannya hingga hari ini hukuman mati masih merupakan hukum positif di negeri ini. Ia sah untuk dipakai terlebih dan terutama terhadap kejahatan narkoba. Majelis hakim perkara itu semestinya mempertimbangkan fakta bahwa sedikitnya 15 ribu orang, kebanyakan generasi muda, tewas setiap tahun karena narkoba.
Sehingga pertimbangan hukum saat memutuskan perkara itu lebih mengedepankan kepentingan dan keselamatan masyarakat. Karena itu, putusan PK yang membebaskan Hanky Gunawan harus ditindaklanjuti dengan pengajuan PK atas PK dalam perkara tersebut.
Bukan yang pertama kali ketua majelis hakim perkara itu, ImronAnwari, menganulir vonis hukuman mati perkara narkoba. Imron sebelumnya juga pernah menganulir vonis hukuman mati bagi Hillary K Chimezie, warga Nigeria,  pemilik 5,8 kg heroin. Dalam kasus itu, Imron menukar hukuman mati dengan 12 tahun penjara bagi Chimezie.
Hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara. Namun, ada kejahatan yang tidak boleh ditoleransi. Kejahatan narkoba adalah salah satunya.(pri)



Stop KekerasanPers

Ketua Aliansi Rakyat Untuk Perubahan, Rizal Ramli, mendesak agar tindakkekerasan terhadap pers dihentikan, terutamaoleh  “aparat”  keamanan negara. Sekaligus mendesak tindakan hukum yang tegas bagi para pelakunya, dan tidak boleh sekedar hukuman disiplin/administratif  di  kesatuan.
“Saya prihatin budaya kekerasan oleh aparat keamanan terhadap pers masih tumbuh subur, dan kerap dipertontonkan. Jika hal ini dibiarkan berlangsung terus, dapat mengancam kebebasan pers,” jelasnya.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu pun mengecam keras tindakan represif berupa penganiayaan, pemukulan dan perampasan kamera video dan atau kamera foto yang dilakukan sejumlah “aparat” di lapangan terhadap sejumlah wartawan, baik media cetak, online, radio dan televisi yang sedang bertugas mendapatkan informasi dan gambar di  sekitar lokasi kejadian.
“Seharusnya setiap aparat keamanan memahami bahwa tugas utama wartawan memang mencari informasi. UU nomor  40 tahun 1999 tentang Pers juga mengancam dengan sanksi pidana bagi semua pihak yang menghalang-halangi tugas jurnalistik wartawan untuk mendapatkan informasi demi  kepentingan publik,” ujarnya.
Seperti yang dilakukan anggota TNI Angkatan Udara (AU) saat jatuhnya pesawat tempur Hawk-200, di Riau, Selasa (16/10). Dimana oknum TNI Angkatan Udara melakukan tindakan represif terhadap Rian FB Anggoro (wartawan Kantor Berita ANTARA), Didik Herwanto (fotografer Riau Pos, Jawapos Grup), Fakhri Rubianto (reporter Riau Televisi), Ari (TV One), Irwansyah (reporter RTV) dan Andika (fotografer Vokal) yang mengalami tindak kekerasan saat meliput jatuhnya pesawat tempor  Hawk  200 di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin.
Bahkan Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, bahwa insiden terhadap wartawan tersebut adalah kampanye buruk militerter hadap Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas).
Apalagi di tengah-tengah upaya Kemenhan menggolkan RUU Kamnas di parlemen, lalu muncul kasus kekerasan kepada wartawan, jelas mengundang antipati publik kepada militer.
Bagaimana rakyat mau mempercayai alasan militer untuk mendukung RUU Kamnas kalau faktanya seperti ini. Wartawan  yang sedang menjalankan tugas peliputan dan sedang menggunakan kameranya saja toh dihajar juga. Artinya kepada pers sebagai pilar keempat demokrasi saja mereka tidak peduli apalagi kepada rakyat biasa.
RUU Kamnas sangat sensitif karena ada potensi besar
bersifat gangguan terhadap demokrasi, kebebasan dan hak sipil dan gangguan terhadap pers. Apalagi pelakunya perwira menengah TNI yang seorang berpangkat Letkol. Ini sekaligus menunjukkan bahwa memang paradigma kebebasan pers belum maksimal dipahami militer.
Penolakan terhadap materi RUU Keamanan Nasional (Kamnas) atas peristiwa kekerasan terhadap jurnalis tersebut seolah menemukan momentumnya.
Kebebasan Pers Paradigma keberadaan media  jurnalisme dalam setting demokrasi tidak lain untukmemenuhi fungsi imperatif yang bersumber dari hak azasi warga masyarakat dalam memperoleh informasi bebas di satu pihak, dan menyatakan pendapat secara bebas di pihak  lain.
Fungsi media massa adalah bersifat imperatif, lahir sebagai implikasi dari tatanan (order) masyarakat dan negara. Tatanan dengan pengutamaan hak warga sebagaimana dikenal sebagai norma demokrasi, media massa menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhi kepentingan warga masyarakat.
Karenanya kebebasan pers hanya bermakna jika berkait dengan salah satu dimensi hak azasi manusia, yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Untuk itu basis dari keberadaan profesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini.
Kebebasan pers yang menjadi landasan bagi profesi jurnalisme, tak lain sebagai bagian dari HAM warga masyarakat untuk menilai fakta dan membentuk pendapat secara bebas. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Dari sini lahir suatu norma yang sangat menabukan ijin publikasi, pembredelan, sensor dan pemono-polian sumber dan informasi yang dilakukan penguasa atas media  dan informasi. Penabuan ini bukan untuk melindungi profesi media, sebab dia hanya menjalankan fungsi imperatif dari hak warga masyarakat.
Pelarangan penyeleng-garaan publikasi di tengah warga masyarakat menjadi masalah yang sangat serius dipandang dalam pergaulan internasional. Ini sekaligus menunjukkan bahwa di lingkungan negara yang bersangkutan masih ada “ijin publikasi”.
Lebih jauh sensor atau upaya penguasa negara dengan menghalangi warganya untuk mendapatkan media secara keseluruhan, atau bagian tertentu dari media (edisi atau informasi) merupakan pelanggaran HAM. Sensor hanya dimungkinkan untuk informasi yang merusak moral sosial,  semacam pornografi. 
Sementara informasi politik betapapun tidak sejalan dengan kebijakan suatu penguasa negara, secara internasional diasumsikan tidak berkaitan dengan moral  sosial. Apa lagi ini hanya sebuah kejadian jatuhnya pesawat saja. (ist.pri)



Ini dapat datang dari kekuasaan negara dan modal. Penguasaan atas media mewujud melalui terkonsentrasinya media pada kekuasaan tertentu, sehingga tidak  memungkinkan diversifikasi pemilikan media.
Monopoli dapat pula terjadi pada tingkat informasi, yaitu kecenderungan jurnalis untuk menggunakan sumber-sumber yang spesifik akibat kepentingan politik atau ekonomi. Pada media siaran, bisa terjadi berupa pemonopolian jam siaran oleh kekuatan modal. Itu sebabnya dalam etika siaran radio Amerika Serikat, ada batasan bagi sponsor tunggal. (The  Radio Code, Rivers dan Scramm, 1969).
Masalah monopoli media dan informasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Sensitivitas pengelola media dalam menghadapi praktek monopoli, baik yang terjadi karena faktor eksternal dari kekuasaan negara dan modal  maupun internal dari media sendiri merupakan bagian kesadaran etis yang sangat diperlukan. Monopoli ini terjadi antara lain melalui siaran tunggal (sentralistis)  pada waktu  yang bersamaan, baik untuk hiburan maupun berita.
Monopoli informasi dapa tpula  terjadi melalui monopoli wacana. Pemonopolian ini bersumber dari pilihan fakta dan cara pengungkapan fakta untuk tujuan propaganda  baik politik maupun komersial. Pemilihan fakta atas dasar ukuran yang  ditetapkan oleh penguasa, atau pembiasaan pilihan bahasa yang berasal dari penguasa,  merupakan bentuk pemonopolian wacana. Pada dasarnya tindakan ini adalah untuk menguasa alam pikiran warga masyarakat.
Setiap tindakan yang menghalangi media dan informasi dapat dipandang sebagai pelanggaran atas hak warga untuk bermedia. Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers. Artinya, kebebasan pers bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam deklarasi  universal  hak azasi manusia.


Minta ‘Jatah’

Kalau BUMN dapat dari negara, misalnya, nanti tidak cair. Mereka minta bagian, miliaran rupiah-lah,”

Seperti diketahui, perseteruan antara Dahlan dan DPR berawal dari pesansingkat yang dikirimkannya kepada Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Isinya, memberitahukan bahwa ada oknum anggota DPR yang kerap meminta jatah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dahlan juga telah mengeluarkan surat edaran keseluruh BUMN untuk menolak dan menghentikan praktik kong kalikong dengan DPR, DPRD, dan rekanan. Surat edaran ini menindak lanjuti imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri BUMN, Dahlan Iskan masih bisa berseloroh menanggapi perselisihannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Diungkapkannya, bahwa praktik kong kalikong antara oknum anggota DPR dan BUMN telah terjadi sejak zaman Majapahit.
“Kalau zaman dulu BUMN itu perasaan...,” ujar Dahlan yang kemudian tak menyelesaikan perkataannya.
Dahlan mengatakan, ia prihatin dengan kondisi BUMN saat ini yang seolah tak berdaya menghadapi anggota Dewan. Ia pun sudah menyampaikan kepada Presiden SBY terkait praktik kong kalikong itu.
“Pak Presiden juga menyatakan prihatin dan mendukung langkah saya untuk mengeluarkan surat edaran (instruksi untuk tidak kong kalikong dengan legislatif dalam bentuk apa pun),” kata Dahlan.
Desakan kemudian muncul agar ia membuka siapa saja oknum anggota DPR yang melakukan prakik itu. Dahlan tetap merahasiakannya. Namun, ia bersedia mengungkapkan sejumlah modus yang dilakukan oknum anggota DPR dalam meminta jatah pada BUMN. Apasaja? 
Dahlan mengatakan, empat modus anggota DPP meminta “jatah” pada BUMN. Pertama, Meminta fasilitas, anggota Dewan kerap meminta berbagai fasilitas pada BUMN. Hal ini dilakukan untuk memuluskan sebuah proyek atau kucuran dana tertentu.
Kedua, meminta proyek, dalam hal meminta jatah proyek, Dahlan menuturkan, praktik ini tidak hanya dilakukan legislatif, tetapi juga oknum eksekutif kepada jajaran direksi BUMN. Modusnya, untuk pengadaan tertentu yang dilakukan BUMN, oknum-oknumini “bermain” dengan menitipkan rekanan yang dikenalnya untuk menjadi pemenang tender.
Ketiga, memasukkan pegawai di BUMN, masih ada oknum-oknum yang berusaha memanfaatkan jabatannya untuk menekan direksi BUMN. Salah satunya adalah dengan berupaya memasukkan sanak keluarganya untuk menjadi pegawai BUMN. Namun, Dahlan menjelaskan, praktik ini bisa dicegah karena BUMN memiliki pola dan peraturan rekrutmennya sendiri.
Dan keempat, meminta uang “terima kasih”, yakni kendati tidak membantah adanya praktik kong kalikong dengan uang terima kasih ini, Dahlan mengaku belum pernah mengalaminya secara langsung. Namun, Dahlan menjelaskan, ada praktik kong kalikong antara oknum anggota Dewan dan direksi BUMN dengan cara memberikan uang miliaran rupiah kepada anggota DPR.
“Jikacara-cara itu tidak dipenuhi, bisa saja dipersulit. Kalau BUMN dapat dari negara, misalnya, nanti tidakcair. Mereka minta bagian, miliaran rupiah-lah,” kata Dahlan lagi.

Peminta ‘Upeti’
Ketua DPR RI Marzuki Alie mendukung rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan untuk menyebutkan nama-nama oknum anggota DPR yang meminta upeti ke sejumlah BUMN. Sebelumnya, Dahlan menyatakan siap membeberkan nama-nama oknum anggota DPR yang meminta “jatah” ke BUMN.
“Saya dukung agar semuanya jelas, nanti akan dibawa ke Badan Kehormatan DPR,” kata Marzuki, kepada wartawan, saat menghadiri peluncuran “Marlborough Institute”, di Bengkulu, Senin (29/10).
Ia menyatakan, persoalan ini perlu dituntaskan sehingga tidak lebih memperburuk citra DPR. Selaku Ketua DPR, di asangat mendukung langkah tersebut. Akan tetapi, menurutnya, sebaiknya Dahlan langsung menunjuk oknum, bukan mengatas namakan lembaga.
“Langsung tunjuk oknumnya sehingga lembaga negara ini tidak ikut tercoreng,” kata politisi Demokrati tu.
Tuntutan untuk mengungkap nama-nama anggota DPR yang diduga meminta jatah pada BUMN itu mencuat setelah muncul surat edaran dariSekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam kepada para menteri dan jajaran di Kabinet Indonesia Bersatu II. Surat edaran Nomor 542/Seskab/IX/2012 itu memuat tentang pengawalan APBN 2013-2014 untuk mencegah praktik kong kalikong dalam pengelolaan anggaran negara.
Dalam surat yang tembusannya disampaikan kepada Presiden, Wakil Presiden, Kepala UKP4, dan Mendagri itu, Seskab menyampaikan bahwa secara nominal dan persentase, besaran APBN sejak tahun 2005 hingga kepersiapan tahun 2013 terus meningkat.
Demikian juga jumlah anggaran yang ditransfer ke daerah dalam upaya pemerintah mempercepat dan memperluas pembangunan di seluruh Nusantara. Setelah surat itu beredar, Dipo Alam mengakui telah menerima pesan singkat dari Dahlan yang menyatakan tentang masih adanya upaya “pemerasan” kepada BUMN oleh oknum-oknum di DPR.
“Berani yakin, berani kalau nanti saya beberkan siapa saja oknum yang minta jatah ke BUMN,” kata Dahlan belum lama ini.(Arw-daribeberapasumber)


Pahlawan
Atau Pecundang?

Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan harus menuntaskan permasalahan Polemik  adanya dugaan pemerasan yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada BUMN, dengan melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kehormatan DPR karena dialah yang memicu polemik.

Dahlan Iskan
Dahlan yang memulai, maka Dahlan juga yang harus menuntaskan dengan melaporkan ke KPK dan BK. Demikian dikatakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Indra yang dikutip media Kompas, Kamis (1/11/2012).
Hal itu dikatakan Indra menyikapi sikap Dahlan yang ragu melaporkan informasi adanya pemerasan BUMN oleh anggota Dewan kepada KPK. Alasannya, ia tidak ingin kasus ini menjadi ramai. Dahlan juga tidak ingin kasus ini juga mengikis fokus dia, khususnya dalam membenahi anak usaha BUMN.
Indra mengatakan, Dahlan seharusnya mengungkap informasi yang dia terima seterang mungkin.Namun, hal itu harus didasari bukti yang kuat dan jangan hanya berdasarkan asumsi semata.Jika tanpa bukti, kata dia, hanya fitnah demi sensasi.
Keterbukaan Dahlan, lanjut Indra, sangat penting untuk memperbaiki sekaligus mengantisipasi penyimpangan di masa depan. Tidak boleh ada kongkalikong antara komisi dengan mitra kerja.
Indra menambahkan, akhir polemik ini akan memunculkan sosok Dahlan sebagai pahlawan dan pemberani jika melaporkan dan dapat membuktikan pernyataannya. Sebaliknya, Dahlan akan dianggap sebagai pecundang dan penebar fitnah jika tidak melaporkan dan membuktikan.
“Kita semua sama-sama menanti apakah Dahlan akan menggunakan baju kepahlawanan dan keberanian atau baju seorang pecundang dan penebar fitnah.Pilihan sikap Dahlan juga akan menjawab apakah hiruk pikuk belakangan ini hanya sekadar mencari sensasi untuk popularitas dan pengalihan isu semata atau sebuah kebenaran untuk perbaikan bangsa ke depan,” pungkas Indra.
Pernyataan Indra patut dipandang perlu, karena sudah sangat banyak kasus yang berhasil diungkap, namun penanganan proses hukumnya macet (rahib) di tengah jalan. Sudah barang tentu ini merupakan tantangan bagi Dahlan dalam menunjukkan diri sebagai wakil rakyat yang benar-benar dapat mewujudkan aspirasi rakyat.

Dipo Dukung Dahlan
Sekretaris Kabinet Dipo Alam mendukung langkah Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk mengungkap oknum-oknum anggota DPR yang kerap meminta jatah kepada direksi BUMN.Namun, Dipo menilai Dahlan sebaiknya mengungkapkannya di dalam forum resmi di DPR.
“Saya support bahwa ini harus diberantas. Dari pertemuan dengan Presiden kemarin, saya kira sudah jelas bahwa siapa sih yang tidak mendukung?Hal-hal itu (pemerasan) kan tidak dibenarkan,” ujar Dipo, Kamis (1/11/2012), dalam jumpa pers di Kantor Seskab, Jakarta.
Dipo menilai semenjak dirinya menyebarkan surat edaran untuk menghindari praktik-praktik kongkalikong dengan DPR, DPRD, dan rekanan, berbagai laporan masuk. “Ini tandanya mereka merespons dan harus dilanjutkan,” imbuh Dipo.
Menurutnya, Dahlan harus memaparkannya di DPR, misalnya, melalui mekanisme Badan Kehormatan atau rapat kerja bersama Komisi VI atau Komisi VII. Pengungkapan nama-nama anggota DPR nakal ke media massa, lanjut Dipo, bukanlah pilihan yang baik karena bisa balik menyerang Dahlan.
Selain itu, Dipo juga mendukung Dahlan jika ingin melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau di situ ada kasus aduan terkait tindak pidana korupsi, tepat jika dibawa ke KPK,” imbuhnya.
Perseteruan antara anggota dewan dengan Dahlan Iskan bermula dari adanya surat edaran Dahlan meneruskan surat Sekretaris Kabinet terkait imbauan tidak melakukan praktik kongkalikong dengan DPR, DPRD, dan rekanan dalam menjaga APBN untuk rakyat.
Namun, setelah surat edaran dikeluarkan, Dahlan mengeluhkan ke Dipo melalui pesan singkat soal masih saja ada anggota DPR yang meminta jatah. Modus yang dilakukan pun beragam, mulai dari meminta jatah uang, meminta proyek, meminta fasilitas, hingga menitipkan sanak saudaranya masuk menjadi pegawai BUMN.
Buktikan Adanya Pemerasan terhadap BUMN
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan sebaiknya segera melaporkan pemerasan terhadap BUMN, yang diduga dilakukan anggota DPR.
Nama-nama oknum anggota DPR yang diduga memeras itu sebaiknya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dahlan harus bisa membuktikannya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menyatakan hal itu, Jumat (2/11/2012).
“Kalau Dahlan Iskan tidak bisa membuktikan apa yang telah disampaikan, apalagi tidak segera melaporkan tuduhan adanya pemerasan terhadap BUMN kepada KPK, kredibilitas dan reputasi Dahlan Iskan jadi pertaruhan.Publik akan menilai apa yang telah disampaikan Dahlan Iskan ternyata hanyalah sebatas isapan jempol belaka,” kata Didi.
Menurut Didi, Dahlan harus berani menyebut nama oknum DPR yang diduga memeras itu sebagai bagian dari misi pemerintah memberantas korupsi. Pengungkapan nama-nama oknum anggota DPR paling tepat dilakukan dengan melaporkannya ke KPK.
“Agak kurang tepat memang kalau menurut Dahlan Iskan bahwa dia baru akan mengungkapkan nama-nama oknum tersebut apabila DPR telah memanggil dan memintanya secara resmi.Justru alasan itu keliru sebab yang terjadi adalah tuduhan adanya pemerasan terhadap BUMN, yang jelas-jelas sepenuhnya merupakan domain KPK sehingga pengungkapannya harus di KPK,” katanya.
Menurut Didi, setiap pernyataan Dahlan sebagai pejabat publik harus bisa dipertanggungjawabkan, apalagi dalam hal ini Dahlan mengetahui dugaan adanya pemerasan.
“Tentu sebagai warga negara yang patuh hukum, terlebih sebagai pejabat publik, sudah seharusnya Dahlan menjadi teladan masyarakat dalam mematuhi hukum dengan melaporkan oknum anggota DPR yang diketahuinya meminta jatah dari BUMN ke pihak yang berwenang,” kata Didi.
Pesan Kaleng Parlemen
Perilaku anggota parlemen kembali menjadi topik dan kontroversi di sejumlah media. Sejumlah anggota DPR dituding kerap memeras dengan cara minta upeti ke sejumlah badan usaha milik negara.
Tudingan mengemuka setelah ada instruksi Menteri BUMN Dahlan Iskan agar seluruh jajaran direksi BUMN tidak memberikan upeti ke anggota DPR.Instruksi disampaikan Dahlan ke Sekretaris Kabinet Dipo Alam lewat layanan pesan singkat.
Instruksi Dahlan sontak membuat anggota parlemen geram.Apalagi, Senin malam, beredar 18 inisial anggota DPR dari tujuh fraksi yang disebut-sebut sebagai oknum pemeras BUMN. Inisial itu adalah JA, SG, dan MG (Fraksi Partai Demokrat); AK, IM, SN, NW, dan BS (Fraksi Partai Golkar); PM, EV, dan CK (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan); AR, IR, dan SUR (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), ALM dan NAS (Fraksi PAN), FA (Fraksi Partai Hanura); dan MUZ (Fraksi Partai Gerindra).
Tidak ada yang tahu sumber informasi 18 inisial anggota DPR yang disebut-sebut pemeras BUMN itu.Dalam pesan itu memang tertulis sumber Humas BUMN.Namun, Kepala Humas Kementerian BUMN Halimi membantah menyebarkan pesan itu. Belakangan, Dahlan mengaku mengantongi 10 nama anggota DPR yang sering memeras BUMN.
Meskipun belum jelas siapa pengirim serta kebenaran pesan yang beredar, kalangan DPR langsung bereaksi.Fraksi Partai Demokrat menggelar jumpa pers. Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf minta Dahlan mengungkap anggota DPR pemeras BUMN.
Sutan Bathoegana dari Fraksi Partai Demokrat juga turut bereaksi.Inisial SG disangkut-pautkan dengan namanya.Apalagi sebelum tudingan pemerasan beredar, Komisi VII tempat Sutan bertugas sedang berseteru dengan Dahlan.“SG bukan saya.Inisial saya SB,” ujarnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, juga langsung menyebar rilis ke sejumlah wartawan. Ia mengatakan, pesan itu meresahkan dan merugikan anggota DPR yang kebetulan namanya mirip dengan inisial-inisial yang tersebar. Nama Bambang sendiri mirip dengan inisial BS.
Eva Kusuma Sundari dari Fraksi PDI-P yang sedang berada di Madinah pun turut bereaksi.Anggota Komisi III itu pun mengirimkan rilis karena merasa dirugikan.“Selama di Madinah saya direpoti dengan pertanyaan-pertanyaan melalui pesan singkat dan sosial media terkait inisial EV.Saya tegaskan, EV bukanlah saya,” katanya.
Pesan kaleng tanpa sumber jelas itu meresahkan dan membuat kalangan DPR geram di tengah defisitnya kepercayaan rakyat kepada mereka. Jika tak dihentikan, bisa jadi polemik itu akan berdampak pada semakin memburuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Saat ini, semua pihak menunggu pemilik informasi yang memulai kontroversi ini membukanya agar terang benderang. Bagaimana, Pak Dahlan?
Dahlan Bisa Ditekan karena Tak Punya Parpol
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo mengaku tak pernah menemui praktik kongkalikong antara pemerintah dan anggota DPR.Menurutnya, anggota Dewan di DPR tidak berani karena Cicip juga merupakan kader Partai Golkar yang kini menjabat Wakil Ketua Umum.
“Kalau meminta langsung ke saya, mereka (anggota DPR) pasti tidak berani. Saya kan dari partai yang punya fraksi besar, jadi tidak mungkin. Teman-teman partai di sana juga tidak mungkin minta ke saya,” ujar Cicip, Jumat (2/11/2012), saat dijumpai di Kantor DPP Partai Golkar.
Saat ditanyakan soal pernyataan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendapatkan laporan adanya upaya pemerasan dari anggota DPR, Cicip mengaku tidak tahu praktik itu karena tidak terjadi padanya.Ia pun tidak membantah jika bebasnya dia dari praktik “upeti” itu lantaran dibantu kader Partai Golkar yang menjadi politisi Senayan.
Hal ini berbeda dengan Dahlan Iskan yang berlatar belakang non-parpol.
“Ya bisa jadi.Menteri-menteri yang ada partai seperti saya lebih bisa tidak kena hal-hal seperti itu, tidak seperti menteri yang non-partai.Kalau ada hal-hal itu, pasti akan saya tolak,” imbuh Cicip.
Lebih lanjut, Cicip menceritakan bahwa mendapatkan persetujuan anggota DPR atas suatu hal memang terbilang tidak mudah.Perdebatan alot pun sudah menjadi hal biasa dalam setiap rapat kerja dengan pemerintah. Menurut Cicip, kementeriannya terbilang mengelola anggaran yang kecil sehingga tidak pernah diminta memberi jatah.
Kendati demikian, Cicip mengakui ada upaya anggota Dewan yang merekomendasikan daerah pemilihannya (dapil) untuk mendapatkan bantuan langsung masyarakat (BLM).“Yang ada, mereka minta dapilnya dimasukkan karena dapil mereka ada ini dan itu.Tapi ini menurut saya bukan tekanan. Saya bisa menolak kalau memang tidak sesuai dengan program kementerian,” imbuh Cicip.(Arw- dari beberapa sumber)

1 komentar: