Senin, 29 Oktober 2012

ADVERTORIAL

 Kebebasan Pers vs “Aparat”


Kekerasan tidak seharusnya  dilakukan kepada siapa pun, tak terkecuali wartawan. Jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Karena itu, tindakan  kekerasan terhadap jurnalis tidak saja menghalangi jurnalis dalam menjalankan tugasnya, sama halnya menghalangi publik memperoleh informasi dan berita yang benar.

Paradigma keberadaan media jurnalisme dalam setting  demokrasi tidak lain untuk memenuhi fungsi imperatif yang bersumber  dari hak azasi warga masyarakat dalam memperoleh informasi bebas  di satu pihak, dan menyatakan pendapat secara bebas dipihak lain.

Fungsi media massa adalah bersifat imperatif, lahir sebagai implikasi dari tatanan (order) masyarakat dan negara. Tatanan dengan   pengutamaan hak warga sebagaimana dikenal sebagai norma demokrasi, media massa menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhi kepentingan warga masyarakat.

Kebebasan  pers  yang  menjadi landasan  bagi  profesi  jurnalisme,  tak lain sebagai bagian dari HAM warga masyarakat untuk menilai fakta  dan membentuk pendapat secara bebas. Kebebasan jurnalisme  adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar  dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk  pendapatnya.

Meski demikian media massa tidak boleh memperuncing sebuah  konflik dalam pemberitaannya. Solusi dari media massa diharapkan   mampu meredakan “konflik”. Verifikasi data harus dikedepankan oleh  jurnalis dalam melakukan peliputan “konflik” tersebut.

Untuk itu, penyusunan TOR (Term of Reference) dari redaksi terkait menjadi mutlak karena di dalam konflik banyak hal yang krusial, terlebih konflik yang menyangkut nyawa manusia. TOR itu sendiri harus   berkiblat pada jurnalisme damai, tidak memperkeruh suasana. Dengan demikian keselamatan jurnalis itu sendiri juga harus  diperhatikan.

Namun faktanya, sejak 1996 tercatat ada 10 kasus pembunuhan wartawan yang masih menjadi misteri. Atau selama periode 2005-2010, sedikitnya ada 321 kasus kekerasan termasuk pembunuhan terhadap wartawan di Indonesia.

Bahkan ada kasus pembacokan terhadap pemimpin redaksi  tabloid Dinamika Bangsa, Pamekasan, Khairul Kalam, 36 tahun.  Dimana kasusnya masih terus diselidiki. Atau aksi kekerasan di Padang  dilakukan oknum militer saat jurnalis meliput razia kafe mesum.  Sebanyak tujuh jurnalis mengalami luka-luka. Kamera dan kaset video  juga dirampas.

Atau seperti yang dialami jurnalis Mercusuar Palu, Moechtar  Mahyuddin dan jurnalis Kompas, Reny Sri Ayu, yang dikeroyok massa  saat  liputan di SPBU Bungku, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten  Morowali.

Dan itu belum termasuk kekerasan oknum Letkol TNI AU di  Pekanbaru, Riau, yang terjadi belum lama ini. Bahkan media China  People‘s Daily pun mengutuk keras aksi kekerasan terhadap wartawan  Indonesia oleh oknum TNI AU di Pekanbaru, Riau tersebut. Seperti yang  dikatakan pemimpin redaksinya Wu Hengquan.

Hengquan pun akan menggalakan dukungan dengan media lain  untuk mengecam kejadian tersebut, meski aksi kekerasan yang   melibatkan setidaknya lima wartawan itu belum tersebar luas di media China. nRed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar