Kebebasan Pers vs “Aparat”
Kekerasan tidak seharusnya dilakukan
kepada siapa pun, tak terkecuali wartawan. Jurnalis yang melakukan tugas
jurnalistik dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Karena itu,
tindakan kekerasan terhadap jurnalis
tidak saja menghalangi jurnalis dalam menjalankan tugasnya, sama halnya
menghalangi publik memperoleh informasi dan berita yang benar.
Paradigma
keberadaan media jurnalisme dalam setting
demokrasi tidak lain untuk memenuhi fungsi imperatif yang bersumber dari hak azasi warga masyarakat dalam
memperoleh informasi bebas di satu
pihak, dan menyatakan pendapat secara bebas dipihak lain.
Fungsi
media massa adalah bersifat imperatif, lahir sebagai implikasi dari tatanan
(order) masyarakat dan negara. Tatanan dengan
pengutamaan hak warga sebagaimana dikenal sebagai norma demokrasi, media
massa menjalankan fungsi imperatif untuk memenuhi kepentingan warga masyarakat.
Kebebasan pers
yang menjadi landasan bagi
profesi jurnalisme, tak lain sebagai bagian dari HAM warga
masyarakat untuk menilai fakta dan
membentuk pendapat secara bebas. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta
selengkap-lengkapnya, agar dapat
dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Meski
demikian media massa tidak boleh memperuncing sebuah konflik dalam pemberitaannya. Solusi dari
media massa diharapkan mampu meredakan
“konflik”. Verifikasi data harus dikedepankan oleh jurnalis dalam melakukan peliputan “konflik”
tersebut.
Untuk
itu, penyusunan TOR (Term of Reference) dari redaksi terkait menjadi mutlak
karena di dalam konflik banyak hal yang krusial, terlebih konflik yang menyangkut
nyawa manusia. TOR itu sendiri harus
berkiblat pada jurnalisme damai, tidak memperkeruh suasana. Dengan demikian keselamatan jurnalis
itu sendiri juga harus diperhatikan.
Namun
faktanya, sejak 1996 tercatat ada 10 kasus pembunuhan wartawan yang masih
menjadi misteri. Atau selama periode 2005-2010, sedikitnya ada 321 kasus
kekerasan termasuk pembunuhan terhadap wartawan di Indonesia.
Bahkan
ada kasus pembacokan terhadap pemimpin redaksi
tabloid Dinamika Bangsa, Pamekasan, Khairul Kalam, 36 tahun. Dimana kasusnya masih terus diselidiki. Atau
aksi kekerasan di Padang dilakukan oknum
militer saat jurnalis meliput razia kafe mesum.
Sebanyak tujuh jurnalis mengalami luka-luka. Kamera dan kaset video juga dirampas.
Atau
seperti yang dialami jurnalis Mercusuar Palu, Moechtar Mahyuddin dan jurnalis Kompas, Reny Sri Ayu,
yang dikeroyok massa saat liputan di SPBU Bungku, Kecamatan Bungku
Tengah, Kabupaten Morowali.
Dan
itu belum termasuk kekerasan oknum Letkol TNI AU di Pekanbaru, Riau, yang terjadi belum lama ini.
Bahkan media China People‘s Daily pun
mengutuk keras aksi kekerasan terhadap wartawan
Indonesia oleh oknum TNI AU di Pekanbaru, Riau tersebut. Seperti
yang dikatakan pemimpin redaksinya Wu
Hengquan.
Hengquan pun akan menggalakan dukungan dengan media
lain untuk mengecam kejadian tersebut,
meski aksi kekerasan yang melibatkan
setidaknya lima wartawan itu belum tersebar luas di media China. nRed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar