Senin, 29 Oktober 2012

HUKUM



Ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sesak dengan fakta persidangan mengenai pat gulipat dalam mengeruk uang negara. Namun, hanya sedikit dari fakta persidangan itu kemudian menjelma menjadi fakta hukum.
Fakta persidangan terbaru dibuka Yulianis, mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai  di  Pengadilan Tipikor  Jakarta.  Ketika menjadi saksi untuk terdakwa Angelina Sondakh, Yulianis membeberkan sejumlah nama anggota DPR yang terlibat kong kalikong dengan Grup Permai untuk memuluskan proyek.
Selain Angelina Sondakh dari Partai Demokrat,  menurut Yulianis, ada I Wayan Koster (PDIP), Aziz Syamsuddin (Golkar), Zulkarnaen Djabar  (Golkar),  Abdul  Kadir Karding   (PKB),  Said Abdullah (PDIP),  Olly Dondokambey (PDIP),  dan seorang dari PKS, tetapi Yulianis lupa namanya.
Anggota dewan yang  terhormat itu memainkan peran sebagai  broker proyek yang ada di mitra komisi mereka masing-masing. “Untuk wilayah Kejaksaan Agung,  Aziz Syamsuddin yang  pegang,”  ujar Yulianis  di  depan majelis hakim tipikor. “Di Kemenag ada Pak Zulkarnaen Djabar,” lanjutnya.
Grup Permai menangani banyak proyek kementerian.  Di  antaranya Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan,  Kementerian Agama,  dan Kejaksaan Agung.
Tentu saja para wakil rakyat yang namanya disebut Yulianis membantah ‘nyanyian’ itu. Mereka menilai Yulianis menebar fitnah.
Namun, kita tegaskan bahwa Yulianis bukan saksi ecek-ecek yang berada di  pinggir.  Dia justru berada  di episentrum bisnis Grup Permai yang menyimpan banyak  data  dan catatan.
Yulianis sangat tahu bahwa proyek yang dimenangi Grup Permai sudah diatur sejak awal.  Dia juga menyimpan data mengenai aliran fulus kepada  ‘para sahabat’ Grup Permai.
Misalnya, ada 14 aliran dana ke Angelina dan Koster senilai sekitar Rp12 miliar untuk memuluskan proyek di  Kemendiknas dan Kemenpora.
Kita ingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak membiarkan fakta persidangan itu lenyap begitu saja. KPK harus kreatif mencari alat bukti sehingga fakta persidangan itu  ‘naik kelas’  menjadi fakta hukum.
Ini patut dikemukakan karena banyak fakta persidangan kini seolah menguap. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, kini terpidana kasus korupsi, kerap membuka lika-liku permainan proyek oleh elite partai politik dalam kasus Wisma Atlet,  Hambalang, dan proyek pembangkit listrik tenaga surya  di Kemenakertrans.
Nazaruddin menyebut banyak nama politikus, di  antaranya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Menpora Andi Mallarangeng,  elite Demokrat Saan Mustopa,  Mahyudin, dan Mirwan Amir. Namun, baru Angelina Sondakh  yang dibawa KPK ke depan pengadilan. Bagaimana dengan nama-nama lain? Hanya KPK yang tahu.
Sejujurnya kita khawatir nama-nama yang dikemukakan Yulianis, dan juga Nazaruddin,  akan lenyap dengan alasan  KPK  kekurangan penyidik.
Publik diminta mafhum karena KPK sedang berkonsentrasi menghadapi perseteruan dengan polisi.  (ist.pri)


Koruptor JadiKadis
Ini Kekosongan
Konsep Moral

Di Provinsi KepulauanRiau, pelaku tindak pidanakorupsi ternyata amatdimuliakan. Ketika banyakorang di republik ini sibukmengkampanyekanhukuman berat bagikoruptor, di daerah inimantan terpidana korupsimalah mendapatperlakuan khusus.

Adalah Azirwan, bekas koruptor yang mendapat berkah dengan diangkat  sebagai  Kepala  Dinas Kelautan dan Perikanan di provinsi yang berbatasan langsung dengan Singapura ini. Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan ini pernah mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan karena terbukti menyogok anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat, Al-Amin Nasution, pada 2008. Dia  tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi saat menyerahkan suap guna memuluskan proses alih fungsi  8.300 hektare hutan lindung di Bintan.
Bahkan,saat baru lepas dari penjara pun, Azirwan sudah mendapat keistimewaan.  Begitu  usai  menjalani hukumannya  pada2010,dia diangkat menjadi  komisaris  pada  perusahaan daerah.  Kariernya  bersinar  lagi  sejak Maretlalu  setelah  didapuk sebagai kepala  dinas.
Pantas saja jika promosi janggal ini menuai  protes dari  kalangan  aktivis anti korupsi.  Bukannya  dipecat sebagai pegawai negeri sipil begitu divonis bersalah, Azirwan kini malah diangkat sebagai  pejabat  eselon  dua. Padahal Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok  Kepegawaian secara  tegas  mengatur  pemecatan  itu.
Pada pasal 5 disebutkan, pegawai negeri sipil diberhentikan  tidak dengan hormat karena dihukum penjara akibat melakukan kejahatan yang berhubungan dengan  jabatan.
Promosiatas Azirwan ini juga menunjukkan betapa Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Provinsi mengabaikan soal rekam jejak. Mereka tak mau tahu bahwa Peraturan Pemerintah Nomor    100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural secara tegas mengatur hal tersebut.
Dengan rekam jejaknya  sebagai terpidana, jelaslah Azirwan tak pantas diangkat sebagai  pejabat. Promosi jabatan itu, selain menciptakan kebingungan masyarakat, menjadi preseden buruk bagi semangat reformasi birokrasi.Program   yang diimpikan pemerintah untuk menciptakan sistem birokrasi  yang  baik tidak akan pernah tercapai kalau posisi-posisi strategis diisi orang yang tidak layak.
Sulit dibayangkan betapa ironisnya bila nantinya, sebagai pejabat, Azirwan harus  meng-kampanyekan birokrasi yang  bersih sedangkan dia sendiri pernah dihukum karena korupsi.
Promosi Jabatan Koruptor Preseden Buruk.Promosi itu juga menjadi kampanye buruk dalam perang melawan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan pelakunya harus dihukum berat. Tapi bila setelah dihukum sang koruptor kembali mendapat jabatan tinggi, bagaimana mungkin muncul efek jera?
Perlakuan terhadap Azirwan  itu justru  memberi  pesan  bahwa  korupsi bukan perbuatan hina.
Gubernur Kepulauan Riau Muhammad Sani tidak boleh menunda lagi pembatalan surat keputusan pengangkatan Azirwan. Dalih bahwayang  bersangkutan layak diangkat karena   memiliki pengalaman  dan prestasi kerja yang  baik jelaslah tidak masuk akal. Dalih itu bahkan menabrak aturan  perundang-undangan.
Fakta ini semakin  menunjukkan enak sekali menjadi koruptor di negeri ini. Sudah memperoleh  duit secara ilegal,  diganjar  hukuman  ringan  pula meski terbukti  bersalah, eh, setelah bebas dipromosikan naik jabatan pula.
Promosi Azirwan itu mendapat restu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Alasannya  klasik,  yakni tidak ada aturan yang dilanggar mantan narapidana itu. Juru bicara Kemendagri Reydonizar  Moenoek  menyebutkan promosi Azirwan tidak melanggar aturan. Ketentuan  pokok-pokok  kepegawaian menyebutkan pegawai negeri sipil (PNS) yang dituntut dan divonis di bawah empat tahun bisa kembali menerima hak-haknya sebagai PNS setelah menjalani hukuman.
Toh, pengangkatan bekas terpidana korupsi  sebagai  pejabat publik tetap menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah sudah tidak ada orang lain yang layak menduduki jabatan itu? Atau, jangan-jangan ada hubungan tertentu antara terpidana itu dan kepala daerah yang  mengangkatnya?
Benar bahwa ada aturan yang menggariskan PNS yang dihukum  di bawah empat tahun bisa kembali menjadi PNS. Namun, bukankah  ada aturan lain yang  memberikan  garis tegas  bagaimana  seorang  pegawai bisa dipromosikan?
Padahal Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural mengatakan seorang PNS bisa dipromosikan  karena menunjukkan prestasi  kerja yang baik dalam  dua tahun terakhir.
Berdasarkan peraturan itu, jelas Azirwan tidak memenuhi syarat diangkat sebagai pejabat struktural. Pertama,  tidak memenuhi syarat ukuran waktu dua tahun terakhir sebab dengan  ditetapkan sebagai terpidana perkara korupsi, seharusnya  Azirwan kehilangan status sebagai PNS karena telah diberhentikan dengan tidak hormat  pada  2009.
Kedua, tidak memenuhi syarat prestasi  kerja yang baik, jika  kejujuran dan kebersihan termasuk nilai yang baik.
Promosi jabatan bekas  terpidana korupsi itu kian menandakan hukuman terhadap koruptor di negeri ini tidak akan membuat orang jera. Sebaliknya, itu justru berisi pesan moral untuk tak usah takut  merampok uang negara karena tidak akan  membahayakan karier  jabatan  publik.
Hukum formal merupakan satu hal yang harus dijunjung tinggi,  tetapi integritas pun satu hal lain yang harus ditegakkan  mati-matian jika kita mau menegakkan pemerintahan yang bersih.
Artinya, seandainya tidak ada hukum formal mengatur  bahwa  bekas koruptor boleh  atau tidak mendapat promosi  jabatan, secara integritas langsung bisa diputuskan bahwa pintu jabatan sudah tertutup buat dia.

Kekosongan Konsep Moral
Pengangkatan Azirwan menjadi kepala dinas nyata-nyata telah melumpuhkan akal sehat. Celakanya, mesin pelumpuh akal sehat  itu  ialah negara yang pemimpinnya selalu mendengungkan jihad melawan korupsi.
Pengangkatan bekas terpidana kasus korupsi Azirwan,  sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau   dinilai mengkhianati komitmen terhadap asas pemerintahan yang baik dan gerakan  pemberantasan  korupsi. Oleh karena  itu,  Gubernur Kepulauan Riau didesak untuk membatalkan pengangkatan mantan  Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan tersebut.
Hal itu diungkapkan praktisi hukum senior Todung Mulya  Lubis dan pakar hukum  pidana  Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji.
“Kalau kita punya komitmen politik dan moral untuk membangun good governance dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menempatkan orang seperti Azirwan sama saja dengan mengkhianati komitmen tersebut.Ini kesalahan elementer dari Gubernur Kepulauan Riau,” kata Todung.
Indriyanto mengungkapkan, regulasi yang mengatur bekas narapidana  tidak  boleh  diangkat  atau dipromosikan memang tidak ada, tetapi hal itu bertentangan dengan etika kenegaraan.  Pengangkatan  Azirwan dapat berdampak terhadap adanya stigma kelembagaan  yang menjadi tidak baik. “Dalam keadaan seperti ini, etika kenegaraan haruslah dikedepankan,”  ujarnya.
Menurut Todung, pengangkatan Azirwan dapat membuat para pegawai merasa tidak ada hukuman  terhadap tindak  pidana  korupsi  yang pernah dilakukan. Peluang untuk menduduki jabatan tetap terbuka meskipun pernah dipidana penjara. “Ini bentuk kolusi yang sangat jahat, mengangkat kembali  orang  yang  dipidana  korupsi di   negara yang sedang berjuang melawan korupsi,” tambahnya.
Pertimbangan moralitas dan etika seharusnya lebih didahulukan dalam melakukan promosi jabatan, terutama bagi pegawai negeri  sipil (PNS) yang pernah dihukum dalam kasus korupsi. Meskipun tidak melanggar peraturan, promosi untuk bekas narapidana korupsi  seharusnya  dipertimbangkan dengan  cermat  dan  bijak.
Hal itu disampaikan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, setelah Rapat Kerja Panitia Khusus RUU Desa dan RUU Pemda dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Kompleks Parlemen,  Senayan.
“Bagaimanapun, pertimbangan moralitas, etika, dan  integritas  harus dikedepankan,”  katanya.
Menurut Nurul, pertimbangan moralitas dan etika sebaiknya didahulukan untuk mencegah kemungkinan terulangnya kasus korupsi serupa.
“Ini  juga agar semangat  untuk merealisasikan good  governance dan clean  government  dapat  tercapai,” katanya.
Gamawan  mengakui  belum  ada sanksi pemecatan bagi PNS yang pernah menjalani hukuman penjara kurang dari empat tahun. “Aturan yang mengatur itu ada,  yakni  PP Nomor 32 Tahun  1979 (tentang  Pemberhentian  PNS).  PP  itu intinya  mengatur,  orang  (PNS) yang sudah dihukum lebih dari empat tahun itu tidak diberhentikan. Kalau yang lebih dari  empat  tahun  (hukuman),  baru diberhentikan,” katanya.
Meskipun demikian, Gamawan menegaskan, hal itu tidak  berarti pemerintah tidak memiliki perhatian dalam upaya  pemberantasan  korupsi. Pemerintah hanya menjalankan aturan.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi juga sudah  memutuskan  bahwa  bekas narapidana  boleh  mencalonkan  diri sebagai  kepala  daerah. Kementerian Dalam  Negeri akan melakukan  kajian komprehensif untuk mencari pengaturan  yang  paling  adil.

Batalkan
Namun, pemerintah, termasuk pemerintah daerah, tidak bisa hanya berpikir legalistik dalam pengangkatan seorang  pejabat. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki  mengatakan,  Mendagri tidak dapat  mempertimbangkan  aspek legal semata,  tetapi perlu juga mempertimbangkan norma-norma yang sesuai dengan prinsip pemerintahan bersih, tata kelola pemerintahan yang baik, dan moralitas.
Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap mengangkat bekas terpidana perkara korupsi, itu berarti pemerintah tidak konsisten dan tidak paham prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih.
“Jabatan publik merupakan amanah masyarakat. Amanah dari masyarakat perlu diberikan kepada orang  yang  berintegritas,  bukan  kepada orang yang pernah cacat secara hukum,” katanya.
Sementara Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, jika tak ada aturan tegas yang melarang bekas terpidana kasus korupsi   kembali menempati jabatan struktural di pemerintahan, berarti  harus  ada  tafsir ulang atas aturan-aturan itu.
“Jika  aturan yang terkait tidak melarang, aturan tersebut perlu ditafsir ulang dengan memerhatikan aspek ketepatan  dan  rasa  keterusikan  moral masyarakat,” katanya.
Untuk  itu,  kata  Todung,  Gubernur Kepulauan Riau  memiliki kewajiban untuk membatalkan pengangkatan tersebut. “Menteri Dalam Negeri harus menegur pemerintah daerah dan mencabut (pengangkatan).Itu sesuatu yang tidak patut,” kata Teten.
“Ini  juga  sudah  menghina  rakyat karena  seolah-olah  tidak  ada  lagi  orang lain yang layak menduduki jabatan itu selain koruptor,” kata peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan.
KPK,  ujar  Busyro,  sangat  kecewa. “Ini menunjukkan  kekosongan konsep moral  kepemimpinan  dari  pemimpin yang  mengangkat  pejabat  mantan terpidana korupsi,” katanya.(ist.pri)




Mekanisme dan koordinasi antar lembaga terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia  ternyata tidak mendapat porsi memadai dalam draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Tenaga kerja Indonesia dilindungi oleh asuransi.

Demikian benang merah  seminar “AkankahRevisi UU TKI Bisa Memperbaiki Nasib TKI?” yang diselenggarakan Migrant Care di Jakarta. Diskusi menghadirkan pembicara Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerjadan Transmigrasi, Reyna Usman; anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar, Poempida Hidayatullah; Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah; dan Koordinator Persatuan Buruh Migran  IndonesiaTolak  Overcharging (Pilar) Hongkong Eni Lestari.
“Draf RUU TKI, DPR lupa kompleksitas masalah TKI karena malah memperkuat peran Badan Nasional Penempatandan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia serta Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja  Indonesia  Swasta. BNP2TKI tidak layak menerima mandat pelayanan dan perlindungan TKI karena rekam jejak yang buruk selama ini sehingga pemerintah harus membentuk lembaga baru  yang  lebih baik,” kata Anis.
Anis menegaskan, aparat BNP2TKI sekarang terus mempersulit TKI berangkat ke luar negeri dengan alasan wajib memiliki kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) dan memaksa TKI dari luar negeri pulang melalui  terminal khusus TKI di Selapanjang, Tangerang, Banten.  Menurut Anis, pemerintah seharusnya membebaskan TKI pulang lewat terminal umum dan tidak mempersulit.
“BNP2TKI mengurus  KTKLN saja tidak becus.  Seharusnya  BNP2TKI membagikan saja KTKLN gratis kepada  TKI  yang sedang bekerja sehingga mereka tidak perlu susah mengurus sampai tiket pesawat ke luar negeri pun hangus,” kata Anis.
Indonesia menempatkan sedikitnya  6,5  juta  TKI  di  luar negeri yang  mengirim remitansi Rp 65 triliun per tahun langsung kepedesaan. Sebagian besar  TKI bekerja sebagai pekerja rumah tangga secara terpaksa karena tidak mendapat pekerjaan yang pantas  di  dalam negeri.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dalam  UU No.  6/2012 pada 12 April 2012. Namun, drafrevisi UU  PPT-KLN  yang  disetujui  DPR pada 5 Juli 2012 untuk dibahas lebih lanjut ternyata tidak mengadopsi substansi dan semangat konvensi tersebut.
Kondisi ini menimbulkan keresahan aktivis pembela hak  TKI. Eni, aktivis yang juga TKI  PRT di Hongkong, mengungkapkan,  selama ini mereka bagai berjuang sendiri menuntut hak menikmati upah tanpa potongan tujuh bulan dan intimidasi mafia  penempatan pekerja asing.
Sedikitnya 160.000 TKI  bekerja sebagai PRT di   Hongkong yang sebagian besar berasal dari JawaTimur. Agen memungut biaya penempatan lebih besar dari ketentuan Kementerian Tenaga Kerjadan Transmigrasi merupakan masalah klasik  yang  masih terjadi sampai kini.
Reyna mengatakan,  perlindungan TKI sudah diakomodasi dalam skema asuransi  TKI.  “Haruskah perlindungan perlu diatur lagi? Karena tupoksi (tugas pokok dan fungsi) setiap lembaga terkait sudah menjabarkan bahwa perlindungan TKI harus dilaksanakan,”  katanya.
Pengamat migrasi buruh, Syamsul Ardiansyah, mengatakan,  kebijakan migrasi pekerja Indonesia kian mengutamakan liberalisasi. “Draf RUU TKI malah seperti membuka pintu bagi investor asing agar lebih leluasa mengeksploitasi TKI sehingga terjadilah industrialisasi buruh migran,” kata  Syamsul.
Sementara itu Anggaran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang tidak terserap pada 2011 mencapai Rp 47,2 miliar atau sekitar 11,14 persen dari total anggaran Rp 376,5 miliar. Padahal, di banyak negara, ribuan tenaga kerja Indonesia terus didera masalah.
Kepala BNP2TKI M. Jumhur Hidayat mengatakan dana itu tak terpakai antara lain karena moratorium alias penghentian sementara pengirman tenaga kerja ke sejumlah negara. Juga karena tidak terserapnya uang diyat (denda), kata Jumhur dalam rapat kerja dengan Komisi Tenaga Kerja Dewan Perwakilan Rakyat RI, Selasa  10Juli 2012.
Jumhur memaparkan, BNP2TKI seharusnya menanggung diyat yang dikenakan kepada tenaga kerja yang bermasalah di luar negeri. Akan tetapi, diyat juga menjadi tanggungan Kementerian Luar Negeri. Akibatnya, dari anggaran diyat sebesar Rp 6 miliardi  Kas BNP2TKI, yang terserap hanya Rp 2 miliar.
Jumhur berjanji memaksimalkan pemanfaatan anggaran 2012 agar tidak bersisa seperti tahun lalu. Untuk itu, ia berharap tak ada tumpangtindih tugas BNP2TKI dengan lembaga lain agar dana bisa terserap dengan baik.
Dari waktu ke waktu, jumlah kasus tenaga kerja asal  Indonesia yang bermasalah di luar negeri terus bertambah. Karena banyak tenaga Indonesia yang dilanggar haknya, misalnya, pemerintah sampai mengambil langkah moratorium pengiriman tenaga kerjake Malaysia dan Arab Saudi
Termasuk yang bermasalah adalah tenaga kerja Indonesia di  sejumlah negara yang dilanda konflik. Menurut catatan BNP2-TKI,  lebih dari 1.000 orang tenaga kerja Indonesia terjebak di wilayah perang saudara di Suriah. Jumlah tenaga kerja Indonesia di Suriah sekitar 14.000 orang. Menurut Jumhur, jumlahnya bisa lebih banyak karena ada tenaga kerja yang masuk ke Suriah tidak melalui jalur resmi. (mc.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar