Ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta
sesak dengan fakta persidangan mengenai pat gulipat dalam mengeruk uang negara. Namun,
hanya sedikit dari fakta persidangan itu kemudian menjelma menjadi fakta hukum.
Fakta persidangan terbaru dibuka Yulianis,
mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai
di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ketika menjadi saksi untuk terdakwa Angelina Sondakh,
Yulianis membeberkan sejumlah nama anggota DPR yang
terlibat kong kalikong dengan Grup Permai untuk memuluskan proyek.
Selain
Angelina Sondakh dari Partai Demokrat,
menurut Yulianis, ada I Wayan Koster (PDIP), Aziz Syamsuddin (Golkar),
Zulkarnaen Djabar (Golkar), Abdul
Kadir Karding (PKB), Said Abdullah (PDIP), Olly Dondokambey (PDIP), dan seorang dari PKS, tetapi Yulianis lupa namanya.
Anggota dewan yang terhormat itu memainkan peran sebagai broker proyek yang ada di
mitra komisi mereka masing-masing. “Untuk wilayah Kejaksaan Agung, Aziz Syamsuddin yang pegang,”
ujar Yulianis di depan majelis hakim tipikor. “Di Kemenag ada Pak
Zulkarnaen Djabar,” lanjutnya.
Grup Permai menangani banyak proyek kementerian. Di
antaranya Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan,
Kementerian Kesehatan, Kementerian
Agama, dan Kejaksaan Agung.
Tentu saja para wakil rakyat
yang namanya disebut Yulianis membantah ‘nyanyian’ itu.
Mereka menilai Yulianis menebar fitnah.
Namun,
kita tegaskan bahwa Yulianis bukan saksi ecek-ecek yang berada di pinggir.
Dia justru berada di
episentrum bisnis Grup Permai yang menyimpan banyak
data dan catatan.
Yulianis sangat tahu bahwa proyek
yang dimenangi Grup Permai sudah diatur sejak awal.
Dia juga menyimpan data mengenai aliran fulus kepada ‘para sahabat’ Grup Permai.
Misalnya,
ada 14 aliran dana ke Angelina dan Koster senilai sekitar Rp12
miliar untuk memuluskan proyek di
Kemendiknas dan Kemenpora.
Kita
ingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar
tidak membiarkan fakta persidangan itu lenyap begitu saja. KPK
harus kreatif mencari alat bukti sehingga fakta persidangan itu ‘naik kelas’
menjadi fakta hukum.
Ini patut dikemukakan karena banyak fakta persidangan kini seolah menguap.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, kini terpidana kasus korupsi,
kerap membuka lika-liku permainan proyek oleh elite
partai politik dalam kasus Wisma Atlet,
Hambalang, dan proyek pembangkit listrik tenaga surya di Kemenakertrans.
Nazaruddin menyebut banyak nama politikus,
di
antaranya Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum,
Menpora Andi Mallarangeng, elite
Demokrat Saan Mustopa, Mahyudin, dan Mirwan
Amir. Namun, baru Angelina Sondakh
yang dibawa KPK ke depan pengadilan. Bagaimana dengan nama-nama lain? Hanya
KPK yang tahu.
Sejujurnya kita khawatir nama-nama
yang dikemukakan Yulianis, dan juga Nazaruddin,
akan lenyap dengan alasan KPK kekurangan penyidik.
Publik diminta mafhum karena
KPK sedang berkonsentrasi menghadapi perseteruan dengan polisi. (ist.pri)
Koruptor JadiKadis
Ini Kekosongan
Konsep Moral
Di Provinsi KepulauanRiau, pelaku tindak pidanakorupsi ternyata
amatdimuliakan. Ketika banyakorang di republik ini sibukmengkampanyekanhukuman
berat bagikoruptor, di daerah inimantan terpidana korupsimalah mendapatperlakuan
khusus.
Adalah Azirwan,
bekas koruptor yang mendapat berkah dengan diangkat sebagai
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan di provinsi yang berbatasan langsung
dengan Singapura ini. Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan ini
pernah mendekam di penjara selama 2 tahun
6 bulan karena terbukti menyogok anggota Komisi Kehutanan
Dewan Perwakilan Rakyat, Al-Amin Nasution, pada 2008. Dia tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi saat menyerahkan suap guna memuluskan proses alih fungsi
8.300 hektare hutan lindung di
Bintan.
Bahkan,saat baru lepas dari
penjara pun, Azirwan sudah mendapat keistimewaan. Begitu
usai menjalani hukumannya
pada2010,dia diangkat menjadi
komisaris pada perusahaan daerah. Kariernya
bersinar lagi sejak Maretlalu setelah
didapuk sebagai kepala dinas.
Pantas
saja jika promosi janggal ini
menuai protes dari kalangan aktivis anti korupsi. Bukannya
dipecat sebagai pegawai negeri sipil begitu
divonis bersalah, Azirwan kini malah diangkat sebagai pejabat
eselon dua. Padahal Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian secara tegas mengatur
pemecatan itu.
Pada pasal 5 disebutkan, pegawai
negeri sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara akibat melakukan kejahatan yang
berhubungan dengan jabatan.
Promosiatas Azirwan ini juga menunjukkan betapa Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan Provinsi mengabaikan soal rekam jejak. Mereka tak mau tahu
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural secara tegas mengatur hal tersebut.
Dengan rekam jejaknya sebagai
terpidana, jelaslah Azirwan tak pantas
diangkat sebagai pejabat. Promosi jabatan itu, selain
menciptakan kebingungan masyarakat,
menjadi preseden buruk bagi semangat reformasi birokrasi.Program
yang diimpikan pemerintah untuk menciptakan sistem birokrasi yang baik tidak akan pernah tercapai kalau posisi-posisi strategis diisi orang yang tidak layak.
Sulit dibayangkan betapa ironisnya bila nantinya, sebagai pejabat, Azirwan harus meng-kampanyekan birokrasi yang bersih sedangkan dia sendiri
pernah dihukum karena korupsi.
Promosi Jabatan Koruptor Preseden Buruk.Promosi itu juga menjadi
kampanye buruk dalam perang melawan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan
pelakunya harus dihukum berat. Tapi bila
setelah dihukum sang koruptor kembali mendapat jabatan tinggi,
bagaimana mungkin muncul efek jera?
Perlakuan terhadap Azirwan itu justru
memberi pesan bahwa korupsi bukan perbuatan hina.
Gubernur Kepulauan Riau
Muhammad Sani tidak boleh menunda lagi pembatalan surat keputusan
pengangkatan Azirwan. Dalih bahwayang
bersangkutan layak diangkat karena
memiliki pengalaman dan
prestasi kerja yang baik jelaslah tidak masuk akal. Dalih itu bahkan menabrak
aturan perundang-undangan.
Fakta ini semakin menunjukkan enak sekali menjadi koruptor
di negeri ini. Sudah memperoleh duit secara ilegal, diganjar
hukuman ringan pula meski terbukti bersalah, eh, setelah bebas dipromosikan
naik jabatan pula.
Promosi
Azirwan itu mendapat restu Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri). Alasannya
klasik, yakni tidak ada aturan yang dilanggar mantan narapidana itu. Juru bicara Kemendagri Reydonizar Moenoek menyebutkan promosi
Azirwan tidak melanggar aturan. Ketentuan pokok-pokok
kepegawaian menyebutkan
pegawai negeri sipil (PNS) yang dituntut
dan divonis di bawah empat tahun bisa kembali menerima
hak-haknya sebagai PNS setelah menjalani hukuman.
Toh,
pengangkatan bekas terpidana korupsi
sebagai pejabat publik tetap menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah sudah
tidak ada orang lain yang layak
menduduki jabatan itu? Atau,
jangan-jangan ada hubungan tertentu antara terpidana itu dan kepala daerah yang mengangkatnya?
Benar bahwa ada aturan
yang menggariskan PNS yang dihukum di
bawah empat tahun bisa kembali menjadi PNS. Namun, bukankah ada aturan lain yang memberikan
garis tegas bagaimana seorang
pegawai bisa dipromosikan?
Padahal Pasal 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural mengatakan seorang PNS bisa dipromosikan karena menunjukkan prestasi kerja yang baik dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan peraturan itu, jelas
Azirwan tidak memenuhi syarat diangkat sebagai pejabat struktural.
Pertama, tidak memenuhi syarat ukuran
waktu dua tahun terakhir sebab dengan
ditetapkan sebagai terpidana perkara korupsi, seharusnya Azirwan kehilangan status sebagai PNS karena
telah diberhentikan dengan tidak hormat
pada 2009.
Kedua, tidak memenuhi syarat prestasi kerja yang baik, jika kejujuran dan kebersihan termasuk nilai yang
baik.
Promosi jabatan bekas terpidana korupsi itu kian menandakan
hukuman terhadap koruptor di negeri ini tidak akan membuat orang jera.
Sebaliknya, itu justru berisi pesan moral untuk tak usah takut merampok uang negara karena tidak akan membahayakan karier jabatan
publik.
Hukum formal merupakan satu hal yang
harus dijunjung tinggi, tetapi
integritas pun satu hal lain yang harus ditegakkan mati-matian jika kita mau menegakkan
pemerintahan yang bersih.
Artinya, seandainya tidak ada hukum
formal mengatur bahwa bekas koruptor boleh atau tidak mendapat promosi jabatan, secara integritas langsung bisa
diputuskan bahwa pintu jabatan sudah tertutup buat dia.
Kekosongan Konsep Moral
Pengangkatan Azirwan menjadi kepala
dinas nyata-nyata telah melumpuhkan akal sehat. Celakanya, mesin pelumpuh akal
sehat itu ialah negara yang pemimpinnya selalu
mendengungkan jihad melawan korupsi.
Pengangkatan bekas terpidana kasus korupsi
Azirwan, sebagai Kepala Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau
dinilai mengkhianati komitmen terhadap asas pemerintahan yang baik dan
gerakan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu,
Gubernur Kepulauan Riau didesak untuk membatalkan pengangkatan
mantan Sekretaris Daerah Kabupaten
Bintan tersebut.
Hal itu diungkapkan praktisi hukum
senior Todung Mulya Lubis dan pakar
hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji.
“Kalau kita punya komitmen politik
dan moral untuk membangun good governance dan menciptakan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa, menempatkan orang seperti Azirwan sama saja dengan
mengkhianati komitmen tersebut.Ini kesalahan elementer dari Gubernur
Kepulauan Riau,” kata Todung.
Indriyanto mengungkapkan, regulasi
yang mengatur bekas narapidana
tidak boleh diangkat
atau dipromosikan memang tidak ada, tetapi hal itu bertentangan dengan
etika kenegaraan. Pengangkatan Azirwan dapat berdampak terhadap adanya
stigma kelembagaan yang menjadi tidak
baik. “Dalam keadaan seperti ini, etika kenegaraan haruslah
dikedepankan,” ujarnya.
Menurut Todung, pengangkatan Azirwan
dapat membuat para pegawai merasa tidak ada hukuman terhadap tindak pidana
korupsi yang pernah dilakukan.
Peluang untuk menduduki jabatan tetap terbuka meskipun pernah dipidana penjara.
“Ini bentuk kolusi yang sangat jahat,
mengangkat kembali orang yang
dipidana korupsi di negara yang sedang berjuang melawan
korupsi,” tambahnya.
Pertimbangan moralitas dan etika
seharusnya lebih didahulukan dalam melakukan promosi jabatan, terutama bagi
pegawai negeri sipil (PNS) yang pernah
dihukum dalam kasus korupsi. Meskipun tidak melanggar peraturan, promosi untuk
bekas narapidana korupsi seharusnya dipertimbangkan dengan cermat
dan bijak.
Hal itu disampaikan anggota Komisi II
DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, setelah Rapat Kerja Panitia Khusus
RUU Desa dan RUU Pemda dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Kompleks
Parlemen, Senayan.
“Bagaimanapun, pertimbangan
moralitas, etika, dan integritas harus dikedepankan,” katanya.
Menurut Nurul, pertimbangan moralitas
dan etika sebaiknya didahulukan untuk mencegah kemungkinan terulangnya kasus
korupsi serupa.
“Ini
juga agar semangat untuk
merealisasikan good governance
dan clean government dapat
tercapai,” katanya.
Gamawan mengakui
belum ada sanksi pemecatan bagi
PNS yang pernah menjalani hukuman penjara kurang dari empat tahun. “Aturan yang
mengatur itu ada, yakni PP Nomor 32 Tahun 1979 (tentang
Pemberhentian PNS). PP itu
intinya mengatur, orang
(PNS) yang sudah dihukum lebih dari empat tahun itu tidak
diberhentikan. Kalau yang lebih dari
empat tahun (hukuman),
baru diberhentikan,” katanya.
Meskipun demikian, Gamawan menegaskan,
hal itu tidak berarti pemerintah tidak
memiliki perhatian dalam upaya
pemberantasan korupsi. Pemerintah
hanya menjalankan aturan.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi juga
sudah memutuskan bahwa
bekas narapidana boleh mencalonkan
diri sebagai kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri akan melakukan kajian komprehensif untuk mencari
pengaturan yang paling
adil.
Batalkan
Namun, pemerintah, termasuk
pemerintah daerah, tidak bisa hanya berpikir legalistik dalam pengangkatan
seorang pejabat. Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia Teten Masduki mengatakan,
Mendagri tidak dapat
mempertimbangkan aspek legal
semata, tetapi perlu juga
mempertimbangkan norma-norma yang sesuai dengan prinsip pemerintahan bersih,
tata kelola pemerintahan yang baik, dan moralitas.
Jika pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tetap mengangkat bekas terpidana perkara korupsi, itu berarti
pemerintah tidak konsisten dan tidak paham prinsip-prinsip pemerintahan yang
bersih.
“Jabatan publik merupakan amanah masyarakat.
Amanah dari masyarakat perlu diberikan kepada orang yang
berintegritas, bukan kepada orang yang pernah cacat secara hukum,”
katanya.
Sementara Wakil Ketua KPK Busyro
Muqoddas mengatakan, jika tak ada aturan tegas yang melarang bekas terpidana
kasus korupsi kembali menempati
jabatan struktural di pemerintahan, berarti
harus ada tafsir ulang atas aturan-aturan itu.
“Jika
aturan yang terkait tidak melarang, aturan tersebut perlu ditafsir ulang
dengan memerhatikan aspek ketepatan dan rasa
keterusikan moral masyarakat,”
katanya.
Untuk
itu, kata Todung,
Gubernur Kepulauan Riau memiliki
kewajiban untuk membatalkan pengangkatan tersebut. “Menteri Dalam Negeri harus
menegur pemerintah daerah dan mencabut (pengangkatan).Itu sesuatu yang tidak
patut,” kata Teten.
“Ini
juga sudah menghina
rakyat karena seolah-olah tidak
ada lagi orang lain yang layak menduduki jabatan itu
selain koruptor,” kata peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch, Ade
Irawan.
KPK, ujar
Busyro, sangat kecewa. “Ini menunjukkan kekosongan konsep moral kepemimpinan
dari pemimpin yang mengangkat
pejabat mantan terpidana korupsi,”
katanya.(ist.pri)
Mekanisme dan koordinasi antar lembaga terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia
ternyata tidak mendapat porsi memadai dalam draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Indonesia di Luar Negeri. Tenaga kerja Indonesia dilindungi oleh asuransi.
Demikian benang merah seminar
“AkankahRevisi UU TKI Bisa Memperbaiki Nasib TKI?” yang diselenggarakan
Migrant Care di Jakarta.
Diskusi menghadirkan pembicara Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja,
Kementerian Tenaga Kerjadan Transmigrasi, Reyna Usman; anggota Komisi IX DPR
dari Fraksi Partai Golkar, Poempida Hidayatullah; Direktur Eksekutif Migrant Care
Anis Hidayah; dan Koordinator Persatuan Buruh Migran
IndonesiaTolak Overcharging (Pilar)
Hongkong Eni Lestari.
“Draf RUU TKI, DPR
lupa kompleksitas masalah TKI karena malah memperkuat peran Badan Nasional Penempatandan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia serta Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta. BNP2TKI
tidak layak menerima mandat pelayanan dan perlindungan TKI karena rekam jejak yang
buruk selama ini sehingga pemerintah harus membentuk lembaga baru yang
lebih baik,” kata Anis.
Anis menegaskan, aparat BNP2TKI
sekarang terus mempersulit TKI
berangkat ke luar negeri dengan alasan wajib memiliki kartu tenaga kerja luar negeri
(KTKLN) dan memaksa TKI dari luar negeri pulang melalui terminal khusus TKI di Selapanjang,
Tangerang, Banten. Menurut Anis,
pemerintah seharusnya membebaskan TKI pulang lewat terminal
umum dan tidak mempersulit.
“BNP2TKI mengurus KTKLN saja tidak becus. Seharusnya
BNP2TKI membagikan saja KTKLN gratis kepada TKI
yang sedang bekerja sehingga mereka tidak perlu susah mengurus sampai tiket pesawat ke luar negeri
pun hangus,” kata Anis.
Indonesia menempatkan sedikitnya 6,5
juta TKI di
luar negeri yang
mengirim remitansi Rp 65 triliun per tahun langsung kepedesaan.
Sebagian besar TKI bekerja sebagai pekerja rumah tangga secara terpaksa karena tidak mendapat pekerjaan
yang pantas di dalam negeri.
Indonesia
sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dalam UU No.
6/2012 pada 12 April 2012. Namun, drafrevisi UU PPT-KLN
yang disetujui DPR pada 5 Juli 2012
untuk dibahas lebih lanjut ternyata tidak mengadopsi substansi dan semangat konvensi tersebut.
Kondisi ini menimbulkan keresahan aktivis pembela hak TKI. Eni, aktivis yang juga TKI PRT di Hongkong, mengungkapkan, selama ini mereka bagai berjuang sendiri menuntut hak menikmati upah tanpa potongan tujuh bulan dan intimidasi
mafia penempatan pekerja asing.
Sedikitnya 160.000 TKI bekerja sebagai PRT di Hongkong yang
sebagian besar berasal dari JawaTimur. Agen memungut biaya penempatan lebih besar dari ketentuan Kementerian Tenaga Kerjadan Transmigrasi merupakan masalah klasik yang
masih terjadi sampai kini.
Reyna mengatakan, perlindungan TKI
sudah diakomodasi dalam skema asuransi
TKI.
“Haruskah perlindungan perlu diatur lagi? Karena tupoksi (tugas pokok dan fungsi)
setiap lembaga terkait sudah menjabarkan bahwa perlindungan TKI
harus dilaksanakan,” katanya.
Pengamat migrasi buruh,
Syamsul Ardiansyah, mengatakan,
kebijakan migrasi pekerja Indonesia kian mengutamakan liberalisasi. “Draf
RUU TKI malah seperti membuka pintu bagi investor asing agar
lebih leluasa mengeksploitasi TKI sehingga terjadilah industrialisasi buruh migran,”
kata Syamsul.
Sementara itu Anggaran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) yang tidak terserap pada 2011 mencapai Rp 47,2 miliar atau sekitar
11,14 persen dari total anggaran Rp 376,5 miliar. Padahal, di banyak negara,
ribuan tenaga kerja Indonesia terus didera masalah.
Kepala BNP2TKI M.
Jumhur Hidayat mengatakan dana itu tak terpakai antara lain karena moratorium alias
penghentian sementara pengirman tenaga kerja ke sejumlah negara.
Juga karena tidak terserapnya uang diyat (denda), kata
Jumhur dalam rapat kerja dengan Komisi Tenaga Kerja Dewan Perwakilan Rakyat RI,
Selasa 10Juli 2012.
Jumhur memaparkan, BNP2TKI
seharusnya menanggung diyat yang dikenakan kepada tenaga kerja yang bermasalah di
luar negeri. Akan tetapi, diyat juga menjadi tanggungan Kementerian Luar Negeri.
Akibatnya, dari anggaran diyat sebesar Rp 6 miliardi Kas BNP2TKI, yang terserap hanya Rp 2 miliar.
Jumhur berjanji memaksimalkan pemanfaatan anggaran
2012 agar tidak bersisa seperti tahun lalu. Untuk itu,
ia berharap tak ada tumpangtindih tugas BNP2TKI dengan lembaga lain agar
dana bisa terserap dengan baik.
Dari waktu ke waktu,
jumlah kasus tenaga kerja asal Indonesia
yang bermasalah di luar negeri terus bertambah. Karena banyak tenaga Indonesia yang
dilanggar haknya, misalnya, pemerintah sampai mengambil langkah moratorium
pengiriman tenaga kerjake Malaysia dan Arab Saudi
Termasuk yang
bermasalah adalah tenaga kerja Indonesia di
sejumlah negara yang dilanda konflik. Menurut catatan BNP2-TKI, lebih dari 1.000 orang tenaga kerja Indonesia
terjebak di wilayah perang saudara di Suriah. Jumlah tenaga kerja Indonesia di
Suriah sekitar 14.000 orang. Menurut Jumhur,
jumlahnya bisa lebih banyak karena ada tenaga kerja yang
masuk ke Suriah tidak melalui jalur resmi. (mc.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar